Lakuku By Jacky Veidy Heyke tawa renyah berderai memecah kesunyian yang penuh kepalsuan senyum simpul menyimpul wajah kaku tersimpul oleh kusutnya masalah hidup sang jiwa terkurung dalam kungkungan tubuh yang telah termeterai oleh identitas diri yang tidak dimengerti sejak ia lahir pertanyaannya? mengapa sang tubuh lebih berkuasa menentukan identitas sejati diri daripada sang jiwa bukankah sang tubuh tanpa sang jiwa mati... sedangkan.. sang jiwa tanpa sang tubuh kekal abadi? wai! dunia.... Jakarta, Februari 1999 |
Selasa, 10 Juni 2008
Bengong By Jacky Veidy Heyke Jalan-jalan di tengah keramaian Hiruk-pikuk dan deru kendaraan merupakan lagu yang tak asing lagi lampu merah... hm.... sejenak kuberhenti untuk menikmati drama kehidupan manusia kota tiba-tiba, lampu merah itu menyala, klakson yang semula diam kembali menyalak... gambaran jelas ketidaksabaran dan... mungkin juga kesombongan... aku hanya sesosok pribadi di tengah keramaian itu, sambil berdiri, menggenggam map lusuh, usang, warna merah buram kehitam-hitaman... hitam... mungkin karena jelaga kota menempel sekedar untuk memberi bukti ketahanan sejati pengangguran terdidik... hm... senyumku pahit kebisingan di hadapanku ini menawarkan daya magis dan memagut perhatianku... perlahan aku tidak lagi melihat kebisingan itu tetapi aku melompat melewati alam kesadaranku ya, pikiranku mulai meninggalkan ragaku dunia nyata seketika maya... pikiranku mulai... merayau... melambung... dan... ... mulutku mulai sedikit demi sedikit terbuka ... pandanganku terpaku di satu titik pandang namun tak ada arti apa-apa.... semua rata... pikiranku mulai saling tumpang-tindih dengan kenyataan yang menindih hm... aku... separuh menyesali diri ... seorang sarjana dengan prestasi sangat memuaskan ... terdampar dari bursa kerja, ... bukan karena kebodohan atau ketidakmampuan bukan karena tidak mampu mempertanggungjawabkan setiap nilai yang tertera pada ijazah kumalku... tapi, tersingkir oleh nepotisme tak bermartabat yang mematikan daya kreatif anak bangsa akibatnya... negeri ini semakin rusak dan tak mampu bersaing, karena yang mengisi jabatan publik adalah para anak-anak berotak udang dan kosong yang kemudian mewariskannya, juga kepada anak-cucu mereka yang juga berotak udang dan kosong jadi lama-lama kita hanya akan menjadi bangsa berotak udang dan kosong kosong.... Prettt... aku terkejut, sebuah mobil Ferrari menyadarkan lamunanku, dan ketika aku melihat ke pintunya yang terbuka betapa terkejutnya aku, ketika melihat ada udang tampan berotak kosong tertawa cengengesan... duh... Medan, 7 April 1994 |
... (medley) By Jacky Veidy Heyke I. kelam perlahan meliput terang cahaya hilang ditelan kegelapan bintang berkelip syahdu tertahan cahaya-cahaya kecil melintas di cakrawala hari bulan tahun berlalu.. namun malam tetap kelam buram seperti aku yang terbenam dalam suram kalam II. dalam kesepianku kurenungi firmanMu khusukku membangunkanku dari kesepian tanpa arti ke kesepian berarti agung Kasih-Mu Tuhan besar kuasamu aku hanya setitik debu di antara seluruh umat kudus-Mu III. di antara sepi aku menyepi ... di antara nyata aku sunyata ... di antara rasa aku dikarsa ... di antara dian aku terdiam ... siapakah aku sehingga aku merasa layak dihadapan-Mu ... kutuk-Mu adalah ketakutanku kasih-Mu adalah kekuatanku ... di antara benci akulah panji ... diantara suka aku sukka ... diantara cinta aku citta ... aku merana ... Dumai, January 1991 |
Hari Nan Gersang By Jacky Veidy Heyke Aku berdiri... dibatas akhir penantian Hati remuk redam serasa pahit kelu dibibir Namun setitik pelita terang ‘tak kunjung temu Bayang semu, sosok tegar rapuh berdiri di gersang senja sepi mencekam Rona merah membasahi muka jiwa, malu sekujur raga... Mentari mencibir dibalik mega senja kelam Kepalaku tertunduk kaku karang batu pikiran menghimpitku Aku berdiri... dibatas akhir penantian Langkah serasa berat, tersendat... mencekat erat sukma meratap Harapan sia terasa di kalbu merobek penantian semu bertahun. Mentari bergulir cepat merambah hari lenyap Kepekatan malam menutup pandangan mata hati Namun kuyakin, esok langkah kepalsuan kucoba selesaikan bersama... penantian di batas akhir hari nan gersang. Dumai, Maret 1990 |
Senin, 09 Juni 2008
Heathen Heart
Heathen Heart
By Jacky Veidy Heyke
live...
hear yea, o heathen heart
live...
made no raise
lying under pave
troubles by fake
yowl by the face in the bowl
no late but breath
awake...
hear yea, o heathen heart
awake...
made no tears
exposed through eyes
vanish by fate
brawl by the tongue in the prowl
no fast but spread
shout...
hear yea, o heathen heart
shout...
made no tease
conquer the ears
wipe out the fact
crawl the heart by the scowl
no rate but state
should I put any under the shoot
without deny the root of fault
o leave the leaves in the breeze
soul flying down…
disappeared after dawn
but…
it will come again in the midst of darkness..
taste...
hear yea, o heathen heart
taste...
the bitter of sin…
the eyes glowing by the tears
the sight blurred, ‘cannot see
But thy heart live o heathen heart
Medan, June 16, 2006 (completed) |
Jumat, 18 April 2008
Problems, Am Pleased You
By Jacky Veidy Heyke
Aha!
comes upon my shoulder
dear problems
am pleased u
am not scared
please tell me…
is there anybody
that have never faced your face
during their lifetime?
Huh…
if it has…
it is weird
inhuman
or who they are?
problems…
you are my true friends
you have building…
my characters
my belief
my puzzle of life
you have fix…
my troubles
my uncertainty
my im-punitive
Ah…
am grateful, you are
grateful you are
am asking you to become
my shadow
until am completed
my lifetime
problems, am pleased you…
Medan, 2 November 2005
Mourning in the Morning
By Jacky Veidy Heyke
morning
praise the Lord?
no... but now
morning
praise the lorn
there is
mourning in my soul
morning
become mourning... sinner
my soul should send
to the hell
no grace... only grave
no peace... only peeve
resentment and
desolation and
forsaken...
are
parts of my mourning
in the morning
Copyright ©2005 Jacky Veidy Heyke
Rabu, 19 Maret 2008
Hening
hati terbenam
dalam kalut
meruak menyibak
ketertutupan
pada tepian tebing
tanah lot
berdiri menyepi
senja menyelimuti
mengajak meraih malam,
kegelapan menawarkan
damai magis
sang jiwa
merayau mencari makna
aroma duka mengental
sepekat malam
kuhirup pesonamu Lot
tanpa sisa..
memenuhi rongga dada
beralas bantaran jiwa luka
duh...
dimana harap dapat terhenti?
agar tidak lagi duka mengintip
tinggalkan sisi perih...,
dalam pura?
atau... dalam puri?
tak dapat kusangkal Lot...
kau inspirasiku
kembali membangun asaku
saat kupandangi debur ombak
memecah batuan karang...
kuraih damai
yang melebihi hasrat
kuraih damai
yang melebihi tahan-uji
lalu,
hening...
Rabu, 13 Februari 2008
exousía
“Srettt…..”
Bunyi keras terdengar menghantam pintu kanan depan mobilku, dari kaca spion aku melihat seorang perempuan tua keluar dari sebuah mobil Mitsubishi coklat yang baru saja kulewati. Dengan pandangan tanpa salah dia memandang kearah mobilku.
“Gawat, pintu mobil pasti lecet.” Ujarku pendek sambil mengeluh.
Istriku yang ada di baris tengah mobil, langsung menyuruhku untuk berhenti, memintaku untuk melihat bagaimana kondisinya. Segera mobil kupinggirkan dan istriku langsung turun dan melihat sebuah goresan yang panjangnya hampir 15 cm.
Dengan setengah berteriak istriku berkata ”Panjang sekali goresannya, kita harus temui mereka, harus ada pertanggung-jawaban, jelas mereka yang salah, mau buka pintu kok tidak lihat-lihat”
Aku hanya tertegun, ”Sial” umpatku di dalam hati. Entahlah, pagi ini aku merasa tidak ada ’semangat’ untuk memulai hari itu dengan perdebatan yang melelahkan, yang hanya akan menguras energi.
Setelah memeriksa goresan tersebut, aku berguman di dalam hati, akh... sudahlah, goresan seperti ini tidak terlalu ’berarti’ untuk diperdebatkan. Aku langsung masuk ke dalam mobil, istriku mengikutiku sambil meminta supaya aku menuntut hakku. Aku hanya diam saja.
Perlahan aku memutar balik mobilku, dan berjalan melewati mobil ibu tadi. Terlihat sopirnya memandang ke arah pintu mobilku sambil tertegun, namun itu hanya sesaat, dalam hitungan detik air mukanya berubah sepertinya dia bersiap-siap untuk memulai satu ’front pertempuran’ untuk membela majikannya. Melihat itu, perasaanku datar saja.
”Kenapa tidak berhenti? Itukan mobilnya, yang warna coklat, mereka pasti ada di dalam.” teriak istriku. Aku diam.
Sepanjang perjalanan menuju kantornya di Jalan Monginsidi, istriku merepet tiada henti. ”Aku heran melihatmu, jelas-jelas kejadian itu terjadi di depan matamu, seharusnya kamu menuntut keadilan, itu hakmu. Mereka saat ini pasti sedang menertawakanmu, dalam hatinya mereka pasti berkata ’alangkah bodohnya orang-orang yang ada di dalam mobil itu, jelas kita yang salah tetapi mereka tidak mau menuntut haknya.”
Istriku berhenti sejenak, nada gusarnya semakin memuncak, dengusan nafasnya terdengar jelas, dengan suara bergetar dia melanjutkan suara kekecewaannya, ”Betapa menyedihkannya dirimu, hakmu tidak kau perjuangkan, bagaimana kau bisa memperjuangkan hak keluargamu kalau hakmu sendiri tidak mampu kau pertahankan. Aku merasa seperti orang bodoh yang hanya bisa menyesali, tanpa mampu berbuat sesuatu. Seandainya aku pada posisimu, seandainya kau tidak ada, mobil akan kuhentikan dan aku akan meminta hakku, sekurang-kurangnya kalaupun mereka tidak mau membayar sepenuhnya, own-risk asuransi harus mereka bayar.”
”Kau bertindak seolah-olah kau memiliki uang yang cukup banyak, mereka jelas orang kaya, sedangkan kita punya mobil saja susah, harus mengumpulkan dana besar dalam waktu bertahun-tahun.” Keluh istriku
”Aku benar-benar kecewa.” Kulihat dari kaca spion, istriku terduduk lemas, matanya berkaca-kaca, mulutnya terkatup rapat menahan emosi. Aku sedih.
Sesaat kemudian, kami tiba di depan kantornya, dengan tergesa dia turun dari mobil tanpa mengucapkan sepatah kata. Selama ini, kami memiliki satu kebiasaan, kalau sudah sampai di kantornya maka aku akan mencium keningnya. Tetapi kali ini, dia tidak perduli. Akupun diam, aku hanya memandangi wajahnya dan melihatnya berjalan memasuki gerbang kantor dan menghilang.
Sejenak aku terhenyak, pikiranku melayang, satu kata menghantui benakku saat ini, hak.
Kembali terlintas peristiwa goresan mobil tadi, berkali-kali istriku mengatakan bahwa aku tidak memperjuangkan hakku. Hak.
Benarkah aku tadi tidak memperjuangkan hakku, bukankah hak berarti kebebasan untuk berpikir, bertindak, berbuat sesuatu yang kita yakini tidak bertentangan dengan kebebasan dan hak orang lain. Dalam hal ini, aku mempergunakan hakku untuk tidak menuntut, dengan satu pertimbangan, hari ini aku ingin bebas dari beban perselisihan dengan orang lain. Jika demikian, salahkah aku untuk menggunakan hakku untuk tidak menuntut hakku.
Sambil mengerutkan kening, kujalankan mobilku menuju kantorku, jam menunjukkan pukul 8.20 WIB. Radio kuhidupkan sekedar untuk menenangkan pikiranku. Kucari saluran yang sering memutar lagu-lagu lembut dan inspirational. Namun pikiranku tidak juga mau diam, dialog demi dialog dengan pribadi imajinerku terus terjadi, mereka berdebat panjang tentang arti hak yang sesungguhnya.
”Ketika peristiwa goresan itu terjadi, jelas dirimu berada pada situasi yang menguntungkan supaya hakmu di dengar, lalu mengapa engkau tidak menuntutnya, kau pengecut!” sang pribadi imajinerku mencela
”Aku sadar atas pilihan yang kubuat, aku memang tidak mau memperpanjang masalah dengan segala perdebatan yang tidak perlu” sanggahku tak mau kalah
”Darimana kamu tahu bahwa mereka tidak mau mengakui kesalahan yang mereka perbuat? Itukan hanya asumsu naifmu yang melintas dalam benakmu!”
”Memang, itu hanya sekedar asumsi, tetapi ego manusia jelas kupahami, setiap pribadi sering melakukan ’aksi pembelaan’ saat mereka dipersalahkan atau saat dibuat bersalah oleh situasi atau keadaan, atau sekalipun benar dia bersalah.”
Tak tahan dengan pembelaanku, sang imajinerku membentak, ”Tetapi itukan hakmu, Goblok!”
”Hak, akh... kata-kata itu lagi yang terucap.” rungutku sambil mengurut kepalaku yang tidak sakit
Kembali aku terdiam, gambaran tiga huruf, Hak, seolah bermain-main dalam benakku, ketiga huruf itu, h, a, k, berputar, memecah, menyatu, berpendar, diselingi dengan berbagai macam latar warna-warni, kuning, hijau, merah... Bentuk ketiga huruf itu persis sama dengan goresan tangan anakku, Diva, saat dia belajar menulis dengan mempergunakan pinsil-pinsil berwarna. Aku tersenyum, atau lebih tepatnya, menyengir.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan, Hak, kata-kata ini tidak hanya diucapkan oleh istriku atau pribadi-imajinerku tetapi oleh banyak orang di zaman ini, atau setiap zaman, entahlah, yang jelas kata itu sangat menghantui manusia mulai dari lahir sampai dia mati. Terlebih lagi di negaraku, Indonesia, hampir semua orang berbicara tentang hak.
Aku jadi penasaran, begitu tiba di kantor, aku langsung menuju ke ruanganku, saking terburu-buru aku lupa menyapa resepsionis dan Pak Satpam yang telah memasang muka senyum untuk menyambutku, aku, kembali lagi lupa melaksanakan hakku untuk menyapa mereka. Akh, hak.
Di meja tanpa membuang waktu aku membuka laptopku dan browsing ke internet, berusaha untuk kembali memahami apa yang dimaksud dengan hak. Aku menemukan banyak sekali artikel yang berbicara tentang hak. Tetapi aku kurang puas dengan uraian yang mereka berikan. Aku jadi teringat, bahwa beberapa waktu sebelumnya aku membeli sebuah software dari Internet, dimana di dalamnya ada kamus Bahasa Yunani.
Segera aku membuka kamus tersebut dan menemukan istilah hak dalam bahasa Yunani ἐξουσία, exousía, yang juga berarti kuasa, power. Nah ini dia, dengan tersenyum aku membaca pengertian hak tersebut. Dikatakan oleh kamus tersebut bahwa yang dimaksud dengan hak adalah:
1) Hak atau kuasa untuk memilih, kebebasan untuk melakukan sesuatu yang diinginkan
2) Hak atau kuasa atas fisik dan mental
3) Hak atau kuasa atas wewenang (power of authority)
4) Hak atau kuasa untuk memerintah atau mengatur, kuasa yang dimiliki seseorang yang keiinginan dan perintahnya dikuti dan dipatuhi oleh orang lain yang berada di bawah wewenangnya.
My goodness, keluhku di dalam hati, begitu luasnya pengertian hak, meliputi begitu banyak dimensi, dimensi personal, sosial, spiritual, negara dan bangsa.
Kembali pikiranku merayau-rayau, mencoba menyibak setiap makna dari pengertian tentang hak.
Bagian pertama, dari istilah hak menurut kamus Yunani tersebut kurang-lebih sama dengan peristiwa yang aku alami tadi pagi, dimana aku mengambil keputusan untuk tidak menggunakan hakku untuk menuntut hakku.
“Hm.. “ Aku berguman sambil teus berpikir.
Jadi, apa yang aku alami mungkin sama dengan yang dialami oleh jutaan orang yang ada di Indonesia, mereka sadar bahwa mereka memiliki hak hidup di bumi ini, tetapi yang oleh karena situasi dan kondisi tidak berani mengklaim haknya tersebut karena mereka merasa tidak berdaya.
Persis seperti berita yang di tulis di salah satu harian ternama di negeri ini, tentang nasib para pengungsi akibat kerusuhan di Poso dan Ambon. Mereka ingin untuk kembali ke tempat kediaman mereka, tetapi karena mereka minoritas di daerah kediaman mereka, mereka tidak berani untuk mengklaim haknya.
Mereka tidak berdaya. Mereka bersikap pasrah, nrimo, karena mereka jemu untuk kembali berdebat, apalagi kalau sudah berbicara tentang kebenaran dan keadilan. Maka daripada mereka kembali ke situasi seperti itu, banyak diantara mereka yang kemudian ‘melepaskan’ haknya atas hak mereka
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah dengan mereka ‘melepaskan’ haknya lantas hak tersebut tidak lagi melekat pada haknya? Bukankah ‘melepaskan’ hak harus dibarengi juga dengan kerelaan untuk melepaskan? Bukankah jikalau kerelaan tidak ada, maka pelepasan hak menjadi tidak sah?
Akh… entahlah.
Aku teruskan menyelami makna ke dua dari hak yaitu, hak atau kuasa atas fisik dan mental. Ini jelas berbicara, bahwa setiap individu memiliki hak asasi salah satunya adalah kesehatan, baik fisik maupun mental.
Aku teringat dengan berita hangat yang akhir-akhir ini menghiasi media massa, tentang pertarungan antar kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat maupun Partai Republik untuk memenangi pertarungan memperebutkan kursi Presiden Amerika Serikat. Dalam kampanye-kampanye, setiap kandidat mengusung isu-isu utama mulai dari Perang Irak sampai dengan Pendidikan, dan salah satu isu yang penting, yang diusung adalah mengenai hak bagi setiap warganegara untuk memperoleh jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan, menjadi isu utama, karena biaya kesehatan di negeri ini sangat mahal. Beberapa kandidat mengatakan bahwa jaminan kesehatan adalah hak asali bagi setiap pribadi, dan negara harus memenuhinya.
Betapa bahagianya rakyat Amerika Serikat, jika para kandidat tersebut memenangkan pemilihan Presiden dan memenuhi janjinya.
Sangat berbeda dengan Indonesia, kesehatan masih belum menjadi hak rakyat, misalnya tentang flu burung dimana pemerintah kesannya hanya bersifat reaktif, kalau ada daerah yang terkena flu burung baru pejabat kesehatan kelihatan repot dengan program penyuntikan dan vaksinasi, atau tentang Askeskin yang jauh dari sempurna.
Demikian juga dengan peristiwa ekonomi di bulan Januari yang lalu, dimana harga-harga kebutuhan pokok meningkat tajam, terutama kacang kedelai yang merupakan bahan baku tahu dan tempe, yang notabene adalah bahan kebutuhan pokok bagi rakyat kecil. Jelas ini melanggar hak rakyat atas kebutuhan fisik.
Banjir. Saat ini hampir setiap daerah di Jawa tidak lepas dari kekuasaannya, sampai-sampai bandar udara kebanggaan bangsa juga kena imbasnya, tidak berdaya. Lagi-lagi, perubahan iklim, atau dalam bahasa kerennya climate change, menjadi kambing hitamnya, untuk menutupi kebobrokan kebijakan perumahan di Jakarta selama ini.
Jelas ini merupakan penjajahan atas hak fisik – hak hidup rakyat untuk mendapatkan ketenangan dan kenyamanan hidup. Huh, untung aku tinggal di Medan.
Kalau menurutku, sebaiknya untuk menanggulangi banjir, sebaiknya pemerintah mulai berpikir untuk merelokasi berbagai aktivitas yang selama ini terpusat di Jakarta. Misalnya, merencanakan untuk membangun ibukota yang baru di luar Jakarta. Misalnya, merencanakan untuk membangun sebuah kota bisnis di luar Jakarta. Misalnya, merencanakan untuk membangun sebuah kota perfileman di luar Jakarta.
Sehingga, orang yang berminat dengan bidang-bidang tertentu tahu, kota mana yang akan mereka tuju. Misalnya, yang mau jadi bintang filem ke Bandung, yang mau menjadi pelaku usaha di Jakarta dan Surabaya, yang ingin menjadi politikus di Medan. Sehingga semua yang berkaitan dengan spesialisasi kota tersebut akan mengikuti, mulai dari pendidikan sampai dengan fasilitas akan disesuaikan. Wow, bukankah hal itu luar biasa.
Nah, kalau hal itu terjadi, bukankah penduduk Jakarta akan jauh berkurang, dan semua developer akan mengurangi aksinya menimbun daerah resapan air. Dan pemerintah tidak perlu membangun jembatan layang, karena selain tindakan tersebut reaktif juga jelas-jelas akan menghabiskan dana yang tidak sedikit, akan menguras APBN kita yang sudah minus itu.
Kalau proyek tersebut dijalankan juga, alhasil pemerintah harus kembali ‘memohon’ hutang lagi atau menjual BUMN lagi. Begitu proyeknya jalan, para wakil dari bowheer dan kontraktor nilep lagi, kemudian KPK dan polisi nyelidik lagi, kemudian pengadilan case closed lagi. Wah... itu jelas-jelas melanggar hak fisik rakyat. Aduh bo’ capek dech.
Gila, pikirku. Aku menjadi seperti seorang komentator politik dan keuangan. Tapi, tidak ada salahnya kan? Mencoba untuk menggunakan hakku untuk berbicara dan berkomentar bebas tentang segala hal yang aku lihat dan baca setiap hari dari media massa?
Paling tidak aku masih mau ikut memikirkan solusi apa yang cocok untuk menyelesaikan problema bangsa. Urusan tepat tidak tepat, itu urusan kedua. Sing penting, ngomong, hakku kok
Adapun makna ketiga dari hak, berbicara tentang wewenang. Wewenang? Selama ini, sering sekali kita mendengar kata-kata seperti; pejabat yang berwenang, pihak yang berwenang, aparat yang berwenang, tetapi sepertinya aku belum pernah mendengar ada orang berkata rakyat yang berwenang.
Sangat aneh memang, di dalam negara yang menuju kepada proses demokrasi yang ‘matang’ dan dewasa, seharusnya istilah rakyat yang berwenang menjadi terminologi yang umum dan lumrah.
Namun yang terjadi di Indonesia, justru yang berwenang terhadap negara ini bukan rakyat, tetapi hanya sekelompok orang yang bisa membawa senjata atau memiliki sepasukan pengawal bersenjata untuk menakut-nakuti rakyat. Bukan hanya menakuti rakyat, sampai-sampai para pejabat mulai dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah ‘nunduk-nunduk’ sambil mensedekap tangan di dada. Phuih...jijay bajay.
Aku teringat dengan tulisan tentang Rakyat Yang Berwenang (Demos-kratos) dalam Encyclopedia Brittanica yang terjemahan bebasnya kira-kira berbunyi demikian:
Asal istilah demokrasi secara etimologi tidak terlalu penting, karena didalam istilah tersebut tersembunyi beberapa hal yang sebenarnya jauh lebih penting dari hanya sekedar isu semantiknya saja. Jika pemerintahan dilaksanakan oleh rakyat – “sebuah pemerintahan rakyat” – harusnya dibangun oleh, sekurang-kurangnya lima pertanyaan yang fundamental dan ditambah dengan dua pertanyaan lain jika kita berkeinginan supaya demokrasi tersebut bisa bertahan dalam waktu yang lama, antara lain:
(1) Apa unit yang sesuai, dimana di dalamnya dapat dibangun sebuah pemerintahan yang demokrasi? Apakah sebuah kota? Atau negara? Atau unit usaha? Atau apa?
(2) Berikan sebuah asosiasi yang sesuai – sebuah kota, misalnya – siapakah diantara penduduknya yang berhak untuk mendapatkan kewarganegaraan penuh? Siapa orangnya, dengan kata lain, yang bisa mewakili dēmos – orang –orang kebanyakan, rakyat jelata? Jika itu hanyalah sekelompok orang dewasa saja, maka itu tidak dapat dikatakan demokrasi, tetapi akan berubah menjadi sesuatu yang lain, seperti aristokrasi (dikelola oleh orang-orang terbaik, aristos) atau sebuah oligarki (dikelola oleh sebahagian kecil orang saja, oligos)?
(3) Asumsikan sebuah asosiasi dan sebuah dēmos yang memadai, bagaimana caranya warganegara memerintah? Apa organisasi politik atau institusi yang mereka butuhkan? Apakah institusi-institusi ini akan berbeda – sebagai contoh, sebuah kota kecil dan sebuah negara besar?
(4) Ketika rakyat terpecah oleh karena suatu isu tertentu, sebagaimana yang sering terjadi, pandangan siapakah yang akan menang, dan dalam situasi seperti apa? Haruskah mayoritas yang selalu menang, atau haruskah minoritas sekali waktu bisa memberdayakan diri untuk mencegah atau mengatasi aturan dari mayoritas?
(5) Jika mayoritas biasanya menang, bagaimanakah perhitungan untuk menentukan mayoritas yang benar? Apakah mayoritas dari seluruh warganegara? Apakah mayoritas dari pemilih (voters)? Haruskah mayoritas yang benar tidak meliputi seorang warganegara saja melainkan satu kumpulan atau sekelompok warganegara, seperti sebuah suku atau kelompok dalam satu wilayah tertentu?
(6) Pertanyaan selanjutnya yang menentukan langgeng tidaknya sebuah demokrasi adalah: Mengapa “rakyat” harus memerintah, atau mengapa “rakyat” harus berwenang? Apakah benar bahwa demokrasi lebih baik daripada aristokrasi atau monarki? Mungkinkah, sebagaimana argumen Plato dalam Republic, pemerintahan yang terbaik harusnya dipimpin oleh pribadi yang sangat berkualitas – seorang aristokrat dari “philosopher-kings.” Apa alasan yang dapat kita berikan untuk menunjukkan bahwa pandangan Plato keliru?
(7) Sebuah pemerintahan demokratis tidak akan mungkin bisa dipertahankan jika mayoritas dari dēmos— atau mayoritas dari pemerintahan — percaya bahwa ada bentuk pemerintahan lain yang lebih baik. Kondisi minimal untuk mempertahankan sebuah pemerintahan rakyat adalah jikalau proporsi tertentu, dari baik dēmos maupun kepemimpinan percaya bahwa pemerintahan oleh rakyat adalah lebih baik dari alternatif lain. Kira-kira, kondisi apa yang mampu melanjutkan demokrasi? Kondisi apa yang bisa merusaknya? Mengapa beberapa negara demokrasi mampu bertahan, sekalipun harus melewati periode krisis yang menyakitkan, sedangkan yang lain tumbang?
Mmm, cukup panjang memang uraiannya dan banyak pertanyaan yang menjadi PR bagi bangsa ini untuk menjawabnya.
Baiklah, kataku sambil kembali menyandarkan tubuhku, semua pertanyaan diatas ‘memaksaku’ untuk kembali kepada pengertian, rakyat yang berwenang. Jadi benarlah bahwa sebuah pemerintahan demokratis akan berlangsung lama, jikalau wewenang, berada di tangan rakyat. Rakyat yang sesungguhnya. Bukan ‘rakyat’ yang sering diumbar oleh para pejabat atau golongan tertentu untuk melegitimasi tindakannya atau tindakan mereka.
Dan pengertian ke-lima dari hak juga tidak kalah penting, ini berbicara tentang mandat, mandat dari rakyat yang berwenang yang diberikan kepada seseorang untuk menjalankan roda pemerintahan yang sesuai dengan keinginan rakyat, orang tersebut dalam konteks Indonesia kita sebut sebagai Mandataris.
Berarti, dari pengertian tersebut, kita tahu bahwa ketika rakyat menunjuk seseorang menjadi mandatarisnya, itu berarti orang tersebut tidak bertindak atas keinginan atau kehendaknya sendiri tetapi dia bertindak merepresentasikan kehendak rakyat yang memilihnya, dan bukan hanya golongan orang tertentu saja.
Oleh karena itu, ucapan seorang mandataris harus sangat berhati-hati karena ketika dia berkata-kata sebagai mandataris dia tidak sedang berbicara atas kehendaknya sendiri tetapi kehendak rakyat. Lalu darimana dia tahu kehendak rakyat. Hati nurani. Berempati dengan rakyat.
Berempati berarti memasuki alam-pikir rakyat, kalau orang batak bilang, dirimang-rimangi. Lalu bagaimana supaya mandataris mampu memasuki alam-pikir rakyat, yang jelas bukan dengan klenik, seperti dalam tontonan film dan televisi akhir-akhir ini, tetapi menjadi bagian dari rakyat.
Bukan sekedar sidak, tetapi merasakannya dengan berkata gimana ya kalau saya berada pada posisi rakyat sekarang. Misalnya, kalau rakyat kelaparan, ya coba sang mandataris ikut tidak makan, sehingga dia akan memahami, ternyata nggak enak ya kalau kelaparan.
Maka beliau akan mulai berpikir gimana caranya supaya rakyat tidak lapar, apakah ada kekeliruan dalam kebijakan ekonomi yang selama ini diambil. Beliau akan mulai celik-matanya, ternyata Indonesia yang selama ini katanya negara agraris, kok, sekarang menjadi negara pengekspor beras dan kedelai ya.
Maka, saya akan yakin juga, beliau akan sampai kepada satu kesimpulan, aku harus mengembangkan pertanian dan perikanan. Nah, setelah pertanian dan perikanan ini menjadi fokus, maka pertanyaan berikutnya adalah langkah apa ya yang bisa meningkatkan hasil pertanian dan perikanan? Misalnya, jawabannya adalah teknologi pertanian dan perikanan, maka buatlah studi banding ke Jepang dan Amerika. Kirim pakar-pakar pertanian dan perikanan dan berikan beasiswa kepada calon-calon pakar pertanian dan perikanan ke Jepang dan Amerika.
Maka Indonesia, sebagaimana yang pernah diidamkan oleh Prof. Mubyarto dari UGM sebagai negara maju dalam bidang pertanian dan perikanan, dapat terwujud, demi kemaslahatan rakyat yang berwenang.
Dengan memasuki alam-pikir rakyat, seorang mandataris akan menjadi mumpuni dan disegani.
“Hak.. hak.., sekarang pahamlah aku akan artimu, bahwa ternyata dirimu tidak sesederhana yang aku pikirkan.” desahku
“Ternyata peristiwa tadi pagi, telah memberikan pencerahan pada diriku. Terima kasih ibu-tua, karena telah menggores mobilku. Tanpa goresan itu aku akan lama menyadari arti penting hak bagiku dan bagi orang lain.”
“Terima kasih istriku, karena telah berulang-ulang berteriak tentang hak di telingaku, sehingga mendorongku untuk mencari tahu tentang hak” Ujarku
Aku tersenyum puas. Mmm... pagi ini sungguh indah, dan sekarang aku ingin menikmatinya.
Medan, February 09, 2008
Selasa, 05 Februari 2008
No Needed Child
Seiring dengan itu, banyak klinik-klinik dari Dokter kandungan maupun bidan, yang dikunjungi oleh pasangan-tanpa-nikah untuk menggugurkan kandungan. Berita-berita baik di koran maupun televisi menampilkan begitu banyak drama Aborsi.
Dan satu ketika, sore hari pada 1 November 2005, aku membaca sebuah artikel tentang aborsi, proses yang dilakukan dan efek psikologis yang ditimbulkan. Dari situ aku terhenyak dan termenung dan pikiranku melayang. Imajinasiku menyusup jauh ke dalam rahim 'sang ibu' menjelajahi alam pikiran bayi yang menjadi korban aborsi. Aku tanpa sadar telah menjadi bagian dari bayangan menakutkan itu... AKU seolah menjadi sang bayi... dan terlahirlah goretan tangan sedemikian...
No-Needed Child
By. Jacky Veidy Heyke
Damn!
Dawn come so fast
trying to drag
my shadow of eternity
Yelling out loud
to shrink the fear
that cometh from within
I am trembling....
fear overcome my senses
fear of life
fear of love
am no-needed child
born from nothing
raise in shadows
live in darkness
ended in black mud
deaf
blind
speechless
am just…
a piece of shit
Damn!
- Medan, November 1, 2005 -
Hah! terkutuklah orang tua durjana, terkutuklah tanah dimana darah sang bayi tertumpah.
Rabu, 30 Januari 2008
Improvisasi
Mencoba untuk memberikan terbaik dari segala potensi yang Tuhan berikan kepadaku... pernyataan ini adalah permulaan sebuah perjalanan.
Well Friends, the journey begins...