Rabu, 13 Februari 2008

exousía

exousía

“Srettt…..”
Bunyi keras terdengar menghantam pintu kanan depan mobilku, dari kaca spion aku melihat seorang perempuan tua keluar dari sebuah mobil Mitsubishi coklat yang baru saja kulewati. Dengan pandangan tanpa salah dia memandang kearah mobilku.

“Gawat, pintu mobil pasti lecet.” Ujarku pendek sambil mengeluh.
Istriku yang ada di baris tengah mobil, langsung menyuruhku untuk berhenti, memintaku untuk melihat bagaimana kondisinya. Segera mobil kupinggirkan dan istriku langsung turun dan melihat sebuah goresan yang panjangnya hampir 15 cm.

Dengan setengah berteriak istriku berkata ”Panjang sekali goresannya, kita harus temui mereka, harus ada pertanggung-jawaban, jelas mereka yang salah, mau buka pintu kok tidak lihat-lihat”

Aku hanya tertegun, ”Sial” umpatku di dalam hati. Entahlah, pagi ini aku merasa tidak ada ’semangat’ untuk memulai hari itu dengan perdebatan yang melelahkan, yang hanya akan menguras energi.

Setelah memeriksa goresan tersebut, aku berguman di dalam hati, akh... sudahlah, goresan seperti ini tidak terlalu ’berarti’ untuk diperdebatkan. Aku langsung masuk ke dalam mobil, istriku mengikutiku sambil meminta supaya aku menuntut hakku. Aku hanya diam saja.

Perlahan aku memutar balik mobilku, dan berjalan melewati mobil ibu tadi. Terlihat sopirnya memandang ke arah pintu mobilku sambil tertegun, namun itu hanya sesaat, dalam hitungan detik air mukanya berubah sepertinya dia bersiap-siap untuk memulai satu ’front pertempuran’ untuk membela majikannya. Melihat itu, perasaanku datar saja.

”Kenapa tidak berhenti? Itukan mobilnya, yang warna coklat, mereka pasti ada di dalam.” teriak istriku. Aku diam.

Sepanjang perjalanan menuju kantornya di Jalan Monginsidi, istriku merepet tiada henti. ”Aku heran melihatmu, jelas-jelas kejadian itu terjadi di depan matamu, seharusnya kamu menuntut keadilan, itu hakmu. Mereka saat ini pasti sedang menertawakanmu, dalam hatinya mereka pasti berkata ’alangkah bodohnya orang-orang yang ada di dalam mobil itu, jelas kita yang salah tetapi mereka tidak mau menuntut haknya.”

Istriku berhenti sejenak, nada gusarnya semakin memuncak, dengusan nafasnya terdengar jelas, dengan suara bergetar dia melanjutkan suara kekecewaannya, ”Betapa menyedihkannya dirimu, hakmu tidak kau perjuangkan, bagaimana kau bisa memperjuangkan hak keluargamu kalau hakmu sendiri tidak mampu kau pertahankan. Aku merasa seperti orang bodoh yang hanya bisa menyesali, tanpa mampu berbuat sesuatu. Seandainya aku pada posisimu, seandainya kau tidak ada, mobil akan kuhentikan dan aku akan meminta hakku, sekurang-kurangnya kalaupun mereka tidak mau membayar sepenuhnya, own-risk asuransi harus mereka bayar.”

”Kau bertindak seolah-olah kau memiliki uang yang cukup banyak, mereka jelas orang kaya, sedangkan kita punya mobil saja susah, harus mengumpulkan dana besar dalam waktu bertahun-tahun.” Keluh istriku

”Aku benar-benar kecewa.” Kulihat dari kaca spion, istriku terduduk lemas, matanya berkaca-kaca, mulutnya terkatup rapat menahan emosi. Aku sedih.

Sesaat kemudian, kami tiba di depan kantornya, dengan tergesa dia turun dari mobil tanpa mengucapkan sepatah kata. Selama ini, kami memiliki satu kebiasaan, kalau sudah sampai di kantornya maka aku akan mencium keningnya. Tetapi kali ini, dia tidak perduli. Akupun diam, aku hanya memandangi wajahnya dan melihatnya berjalan memasuki gerbang kantor dan menghilang.

Sejenak aku terhenyak, pikiranku melayang, satu kata menghantui benakku saat ini, hak.

Kembali terlintas peristiwa goresan mobil tadi, berkali-kali istriku mengatakan bahwa aku tidak memperjuangkan hakku. Hak.

Benarkah aku tadi tidak memperjuangkan hakku, bukankah hak berarti kebebasan untuk berpikir, bertindak, berbuat sesuatu yang kita yakini tidak bertentangan dengan kebebasan dan hak orang lain. Dalam hal ini, aku mempergunakan hakku untuk tidak menuntut, dengan satu pertimbangan, hari ini aku ingin bebas dari beban perselisihan dengan orang lain. Jika demikian, salahkah aku untuk menggunakan hakku untuk tidak menuntut hakku.

Sambil mengerutkan kening, kujalankan mobilku menuju kantorku, jam menunjukkan pukul 8.20 WIB. Radio kuhidupkan sekedar untuk menenangkan pikiranku. Kucari saluran yang sering memutar lagu-lagu lembut dan inspirational. Namun pikiranku tidak juga mau diam, dialog demi dialog dengan pribadi imajinerku terus terjadi, mereka berdebat panjang tentang arti hak yang sesungguhnya.

”Ketika peristiwa goresan itu terjadi, jelas dirimu berada pada situasi yang menguntungkan supaya hakmu di dengar, lalu mengapa engkau tidak menuntutnya, kau pengecut!” sang pribadi imajinerku mencela

”Aku sadar atas pilihan yang kubuat, aku memang tidak mau memperpanjang masalah dengan segala perdebatan yang tidak perlu” sanggahku tak mau kalah

”Darimana kamu tahu bahwa mereka tidak mau mengakui kesalahan yang mereka perbuat? Itukan hanya asumsu naifmu yang melintas dalam benakmu!”

”Memang, itu hanya sekedar asumsi, tetapi ego manusia jelas kupahami, setiap pribadi sering melakukan ’aksi pembelaan’ saat mereka dipersalahkan atau saat dibuat bersalah oleh situasi atau keadaan, atau sekalipun benar dia bersalah.”

Tak tahan dengan pembelaanku, sang imajinerku membentak, ”Tetapi itukan hakmu, Goblok!”

”Hak, akh... kata-kata itu lagi yang terucap.” rungutku sambil mengurut kepalaku yang tidak sakit

Kembali aku terdiam, gambaran tiga huruf, Hak, seolah bermain-main dalam benakku, ketiga huruf itu, h, a, k, berputar, memecah, menyatu, berpendar, diselingi dengan berbagai macam latar warna-warni, kuning, hijau, merah... Bentuk ketiga huruf itu persis sama dengan goresan tangan anakku, Diva, saat dia belajar menulis dengan mempergunakan pinsil-pinsil berwarna. Aku tersenyum, atau lebih tepatnya, menyengir.

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan, Hak, kata-kata ini tidak hanya diucapkan oleh istriku atau pribadi-imajinerku tetapi oleh banyak orang di zaman ini, atau setiap zaman, entahlah, yang jelas kata itu sangat menghantui manusia mulai dari lahir sampai dia mati. Terlebih lagi di negaraku, Indonesia, hampir semua orang berbicara tentang hak.

Aku jadi penasaran, begitu tiba di kantor, aku langsung menuju ke ruanganku, saking terburu-buru aku lupa menyapa resepsionis dan Pak Satpam yang telah memasang muka senyum untuk menyambutku, aku, kembali lagi lupa melaksanakan hakku untuk menyapa mereka. Akh, hak.

Di meja tanpa membuang waktu aku membuka laptopku dan browsing ke internet, berusaha untuk kembali memahami apa yang dimaksud dengan hak. Aku menemukan banyak sekali artikel yang berbicara tentang hak. Tetapi aku kurang puas dengan uraian yang mereka berikan. Aku jadi teringat, bahwa beberapa waktu sebelumnya aku membeli sebuah software dari Internet, dimana di dalamnya ada kamus Bahasa Yunani.

Segera aku membuka kamus tersebut dan menemukan istilah hak dalam bahasa Yunani ἐξουσία, exousía, yang juga berarti kuasa, power. Nah ini dia, dengan tersenyum aku membaca pengertian hak tersebut. Dikatakan oleh kamus tersebut bahwa yang dimaksud dengan hak adalah:
1) Hak atau kuasa untuk memilih, kebebasan untuk melakukan sesuatu yang diinginkan
2) Hak atau kuasa atas fisik dan mental
3) Hak atau kuasa atas wewenang (power of authority)
4) Hak atau kuasa untuk memerintah atau mengatur, kuasa yang dimiliki seseorang yang keiinginan dan perintahnya dikuti dan dipatuhi oleh orang lain yang berada di bawah wewenangnya.

My goodness, keluhku di dalam hati, begitu luasnya pengertian hak, meliputi begitu banyak dimensi, dimensi personal, sosial, spiritual, negara dan bangsa.

Kembali pikiranku merayau-rayau, mencoba menyibak setiap makna dari pengertian tentang hak.

Bagian pertama, dari istilah hak menurut kamus Yunani tersebut kurang-lebih sama dengan peristiwa yang aku alami tadi pagi, dimana aku mengambil keputusan untuk tidak menggunakan hakku untuk menuntut hakku.

“Hm.. “ Aku berguman sambil teus berpikir.

Jadi, apa yang aku alami mungkin sama dengan yang dialami oleh jutaan orang yang ada di Indonesia, mereka sadar bahwa mereka memiliki hak hidup di bumi ini, tetapi yang oleh karena situasi dan kondisi tidak berani mengklaim haknya tersebut karena mereka merasa tidak berdaya.

Persis seperti berita yang di tulis di salah satu harian ternama di negeri ini, tentang nasib para pengungsi akibat kerusuhan di Poso dan Ambon. Mereka ingin untuk kembali ke tempat kediaman mereka, tetapi karena mereka minoritas di daerah kediaman mereka, mereka tidak berani untuk mengklaim haknya.

Mereka tidak berdaya. Mereka bersikap pasrah, nrimo, karena mereka jemu untuk kembali berdebat, apalagi kalau sudah berbicara tentang kebenaran dan keadilan. Maka daripada mereka kembali ke situasi seperti itu, banyak diantara mereka yang kemudian ‘melepaskan’ haknya atas hak mereka

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah dengan mereka ‘melepaskan’ haknya lantas hak tersebut tidak lagi melekat pada haknya? Bukankah ‘melepaskan’ hak harus dibarengi juga dengan kerelaan untuk melepaskan? Bukankah jikalau kerelaan tidak ada, maka pelepasan hak menjadi tidak sah?

Akh… entahlah.

Aku teruskan menyelami makna ke dua dari hak yaitu, hak atau kuasa atas fisik dan mental. Ini jelas berbicara, bahwa setiap individu memiliki hak asasi salah satunya adalah kesehatan, baik fisik maupun mental.

Aku teringat dengan berita hangat yang akhir-akhir ini menghiasi media massa, tentang pertarungan antar kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat maupun Partai Republik untuk memenangi pertarungan memperebutkan kursi Presiden Amerika Serikat. Dalam kampanye-kampanye, setiap kandidat mengusung isu-isu utama mulai dari Perang Irak sampai dengan Pendidikan, dan salah satu isu yang penting, yang diusung adalah mengenai hak bagi setiap warganegara untuk memperoleh jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan, menjadi isu utama, karena biaya kesehatan di negeri ini sangat mahal. Beberapa kandidat mengatakan bahwa jaminan kesehatan adalah hak asali bagi setiap pribadi, dan negara harus memenuhinya.

Betapa bahagianya rakyat Amerika Serikat, jika para kandidat tersebut memenangkan pemilihan Presiden dan memenuhi janjinya.

Sangat berbeda dengan Indonesia, kesehatan masih belum menjadi hak rakyat, misalnya tentang flu burung dimana pemerintah kesannya hanya bersifat reaktif, kalau ada daerah yang terkena flu burung baru pejabat kesehatan kelihatan repot dengan program penyuntikan dan vaksinasi, atau tentang Askeskin yang jauh dari sempurna.

Demikian juga dengan peristiwa ekonomi di bulan Januari yang lalu, dimana harga-harga kebutuhan pokok meningkat tajam, terutama kacang kedelai yang merupakan bahan baku tahu dan tempe, yang notabene adalah bahan kebutuhan pokok bagi rakyat kecil. Jelas ini melanggar hak rakyat atas kebutuhan fisik.

Banjir. Saat ini hampir setiap daerah di Jawa tidak lepas dari kekuasaannya, sampai-sampai bandar udara kebanggaan bangsa juga kena imbasnya, tidak berdaya. Lagi-lagi, perubahan iklim, atau dalam bahasa kerennya climate change, menjadi kambing hitamnya, untuk menutupi kebobrokan kebijakan perumahan di Jakarta selama ini.

Jelas ini merupakan penjajahan atas hak fisik – hak hidup rakyat untuk mendapatkan ketenangan dan kenyamanan hidup. Huh, untung aku tinggal di Medan.

Kalau menurutku, sebaiknya untuk menanggulangi banjir, sebaiknya pemerintah mulai berpikir untuk merelokasi berbagai aktivitas yang selama ini terpusat di Jakarta. Misalnya, merencanakan untuk membangun ibukota yang baru di luar Jakarta. Misalnya, merencanakan untuk membangun sebuah kota bisnis di luar Jakarta. Misalnya, merencanakan untuk membangun sebuah kota perfileman di luar Jakarta.

Sehingga, orang yang berminat dengan bidang-bidang tertentu tahu, kota mana yang akan mereka tuju. Misalnya, yang mau jadi bintang filem ke Bandung, yang mau menjadi pelaku usaha di Jakarta dan Surabaya, yang ingin menjadi politikus di Medan. Sehingga semua yang berkaitan dengan spesialisasi kota tersebut akan mengikuti, mulai dari pendidikan sampai dengan fasilitas akan disesuaikan. Wow, bukankah hal itu luar biasa.

Nah, kalau hal itu terjadi, bukankah penduduk Jakarta akan jauh berkurang, dan semua developer akan mengurangi aksinya menimbun daerah resapan air. Dan pemerintah tidak perlu membangun jembatan layang, karena selain tindakan tersebut reaktif juga jelas-jelas akan menghabiskan dana yang tidak sedikit, akan menguras APBN kita yang sudah minus itu.

Kalau proyek tersebut dijalankan juga, alhasil pemerintah harus kembali ‘memohon’ hutang lagi atau menjual BUMN lagi. Begitu proyeknya jalan, para wakil dari bowheer dan kontraktor nilep lagi, kemudian KPK dan polisi nyelidik lagi, kemudian pengadilan case closed lagi. Wah... itu jelas-jelas melanggar hak fisik rakyat. Aduh bo’ capek dech.

Gila, pikirku. Aku menjadi seperti seorang komentator politik dan keuangan. Tapi, tidak ada salahnya kan? Mencoba untuk menggunakan hakku untuk berbicara dan berkomentar bebas tentang segala hal yang aku lihat dan baca setiap hari dari media massa?

Paling tidak aku masih mau ikut memikirkan solusi apa yang cocok untuk menyelesaikan problema bangsa. Urusan tepat tidak tepat, itu urusan kedua. Sing penting, ngomong, hakku kok

Adapun makna ketiga dari hak, berbicara tentang wewenang. Wewenang? Selama ini, sering sekali kita mendengar kata-kata seperti; pejabat yang berwenang, pihak yang berwenang, aparat yang berwenang, tetapi sepertinya aku belum pernah mendengar ada orang berkata rakyat yang berwenang.

Sangat aneh memang, di dalam negara yang menuju kepada proses demokrasi yang ‘matang’ dan dewasa, seharusnya istilah rakyat yang berwenang menjadi terminologi yang umum dan lumrah.

Namun yang terjadi di Indonesia, justru yang berwenang terhadap negara ini bukan rakyat, tetapi hanya sekelompok orang yang bisa membawa senjata atau memiliki sepasukan pengawal bersenjata untuk menakut-nakuti rakyat. Bukan hanya menakuti rakyat, sampai-sampai para pejabat mulai dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah ‘nunduk-nunduk’ sambil mensedekap tangan di dada. Phuih...jijay bajay.

Aku teringat dengan tulisan tentang Rakyat Yang Berwenang (Demos-kratos) dalam Encyclopedia Brittanica yang terjemahan bebasnya kira-kira berbunyi demikian:
Asal istilah demokrasi secara etimologi tidak terlalu penting, karena didalam istilah tersebut tersembunyi beberapa hal yang sebenarnya jauh lebih penting dari hanya sekedar isu semantiknya saja. Jika pemerintahan dilaksanakan oleh rakyat – “sebuah pemerintahan rakyat” – harusnya dibangun oleh, sekurang-kurangnya lima pertanyaan yang fundamental dan ditambah dengan dua pertanyaan lain jika kita berkeinginan supaya demokrasi tersebut bisa bertahan dalam waktu yang lama, antara lain:
(1) Apa unit yang sesuai, dimana di dalamnya dapat dibangun sebuah pemerintahan yang demokrasi? Apakah sebuah kota? Atau negara? Atau unit usaha? Atau apa?
(2) Berikan sebuah asosiasi yang sesuai – sebuah kota, misalnya – siapakah diantara penduduknya yang berhak untuk mendapatkan kewarganegaraan penuh? Siapa orangnya, dengan kata lain, yang bisa mewakili dēmos – orang –orang kebanyakan, rakyat jelata? Jika itu hanyalah sekelompok orang dewasa saja, maka itu tidak dapat dikatakan demokrasi, tetapi akan berubah menjadi sesuatu yang lain, seperti aristokrasi (dikelola oleh orang-orang terbaik, aristos) atau sebuah oligarki (dikelola oleh sebahagian kecil orang saja, oligos)?
(3) Asumsikan sebuah asosiasi dan sebuah dēmos yang memadai, bagaimana caranya warganegara memerintah? Apa organisasi politik atau institusi yang mereka butuhkan? Apakah institusi-institusi ini akan berbeda – sebagai contoh, sebuah kota kecil dan sebuah negara besar?
(4) Ketika rakyat terpecah oleh karena suatu isu tertentu, sebagaimana yang sering terjadi, pandangan siapakah yang akan menang, dan dalam situasi seperti apa? Haruskah mayoritas yang selalu menang, atau haruskah minoritas sekali waktu bisa memberdayakan diri untuk mencegah atau mengatasi aturan dari mayoritas?
(5) Jika mayoritas biasanya menang, bagaimanakah perhitungan untuk menentukan mayoritas yang benar? Apakah mayoritas dari seluruh warganegara? Apakah mayoritas dari pemilih (voters)? Haruskah mayoritas yang benar tidak meliputi seorang warganegara saja melainkan satu kumpulan atau sekelompok warganegara, seperti sebuah suku atau kelompok dalam satu wilayah tertentu?
(6) Pertanyaan selanjutnya yang menentukan langgeng tidaknya sebuah demokrasi adalah: Mengapa “rakyat” harus memerintah, atau mengapa “rakyat” harus berwenang? Apakah benar bahwa demokrasi lebih baik daripada aristokrasi atau monarki? Mungkinkah, sebagaimana argumen Plato dalam Republic, pemerintahan yang terbaik harusnya dipimpin oleh pribadi yang sangat berkualitas – seorang aristokrat dari “philosopher-kings.” Apa alasan yang dapat kita berikan untuk menunjukkan bahwa pandangan Plato keliru?
(7) Sebuah pemerintahan demokratis tidak akan mungkin bisa dipertahankan jika mayoritas dari dēmos— atau mayoritas dari pemerintahan — percaya bahwa ada bentuk pemerintahan lain yang lebih baik. Kondisi minimal untuk mempertahankan sebuah pemerintahan rakyat adalah jikalau proporsi tertentu, dari baik dēmos maupun kepemimpinan percaya bahwa pemerintahan oleh rakyat adalah lebih baik dari alternatif lain. Kira-kira, kondisi apa yang mampu melanjutkan demokrasi? Kondisi apa yang bisa merusaknya? Mengapa beberapa negara demokrasi mampu bertahan, sekalipun harus melewati periode krisis yang menyakitkan, sedangkan yang lain tumbang?
Mmm, cukup panjang memang uraiannya dan banyak pertanyaan yang menjadi PR bagi bangsa ini untuk menjawabnya.

Baiklah, kataku sambil kembali menyandarkan tubuhku, semua pertanyaan diatas ‘memaksaku’ untuk kembali kepada pengertian, rakyat yang berwenang. Jadi benarlah bahwa sebuah pemerintahan demokratis akan berlangsung lama, jikalau wewenang, berada di tangan rakyat. Rakyat yang sesungguhnya. Bukan ‘rakyat’ yang sering diumbar oleh para pejabat atau golongan tertentu untuk melegitimasi tindakannya atau tindakan mereka.

Dan pengertian ke-lima dari hak juga tidak kalah penting, ini berbicara tentang mandat, mandat dari rakyat yang berwenang yang diberikan kepada seseorang untuk menjalankan roda pemerintahan yang sesuai dengan keinginan rakyat, orang tersebut dalam konteks Indonesia kita sebut sebagai Mandataris.

Berarti, dari pengertian tersebut, kita tahu bahwa ketika rakyat menunjuk seseorang menjadi mandatarisnya, itu berarti orang tersebut tidak bertindak atas keinginan atau kehendaknya sendiri tetapi dia bertindak merepresentasikan kehendak rakyat yang memilihnya, dan bukan hanya golongan orang tertentu saja.

Oleh karena itu, ucapan seorang mandataris harus sangat berhati-hati karena ketika dia berkata-kata sebagai mandataris dia tidak sedang berbicara atas kehendaknya sendiri tetapi kehendak rakyat. Lalu darimana dia tahu kehendak rakyat. Hati nurani. Berempati dengan rakyat.

Berempati berarti memasuki alam-pikir rakyat, kalau orang batak bilang, dirimang-rimangi. Lalu bagaimana supaya mandataris mampu memasuki alam-pikir rakyat, yang jelas bukan dengan klenik, seperti dalam tontonan film dan televisi akhir-akhir ini, tetapi menjadi bagian dari rakyat.

Bukan sekedar sidak, tetapi merasakannya dengan berkata gimana ya kalau saya berada pada posisi rakyat sekarang. Misalnya, kalau rakyat kelaparan, ya coba sang mandataris ikut tidak makan, sehingga dia akan memahami, ternyata nggak enak ya kalau kelaparan.

Maka beliau akan mulai berpikir gimana caranya supaya rakyat tidak lapar, apakah ada kekeliruan dalam kebijakan ekonomi yang selama ini diambil. Beliau akan mulai celik-matanya, ternyata Indonesia yang selama ini katanya negara agraris, kok, sekarang menjadi negara pengekspor beras dan kedelai ya.

Maka, saya akan yakin juga, beliau akan sampai kepada satu kesimpulan, aku harus mengembangkan pertanian dan perikanan. Nah, setelah pertanian dan perikanan ini menjadi fokus, maka pertanyaan berikutnya adalah langkah apa ya yang bisa meningkatkan hasil pertanian dan perikanan? Misalnya, jawabannya adalah teknologi pertanian dan perikanan, maka buatlah studi banding ke Jepang dan Amerika. Kirim pakar-pakar pertanian dan perikanan dan berikan beasiswa kepada calon-calon pakar pertanian dan perikanan ke Jepang dan Amerika.

Maka Indonesia, sebagaimana yang pernah diidamkan oleh Prof. Mubyarto dari UGM sebagai negara maju dalam bidang pertanian dan perikanan, dapat terwujud, demi kemaslahatan rakyat yang berwenang.

Dengan memasuki alam-pikir rakyat, seorang mandataris akan menjadi mumpuni dan disegani.

“Hak.. hak.., sekarang pahamlah aku akan artimu, bahwa ternyata dirimu tidak sesederhana yang aku pikirkan.” desahku

“Ternyata peristiwa tadi pagi, telah memberikan pencerahan pada diriku. Terima kasih ibu-tua, karena telah menggores mobilku. Tanpa goresan itu aku akan lama menyadari arti penting hak bagiku dan bagi orang lain.”

“Terima kasih istriku, karena telah berulang-ulang berteriak tentang hak di telingaku, sehingga mendorongku untuk mencari tahu tentang hak” Ujarku

Aku tersenyum puas. Mmm... pagi ini sungguh indah, dan sekarang aku ingin menikmatinya.

Medan, February 09, 2008

Selasa, 05 Februari 2008

No Needed Child

Beberapa tahun terakhir aku melihat secara moral dan etika, terjadi kemunduran yang sangat mengkhawatirkan. Moral dan etika, dianggap sebagai bagian dari budaya kuno yang tidak mungkin mampu mengakomodasi kemajuan zaman. Yang paling mengerikan, banyak terjadi pergaulan bebas dan banyak gadis yang hamil diluar nikah.

Seiring dengan itu, banyak klinik-klinik dari Dokter kandungan maupun bidan, yang dikunjungi oleh pasangan-tanpa-nikah untuk menggugurkan kandungan. Berita-berita baik di koran maupun televisi menampilkan begitu banyak drama Aborsi.

Dan satu ketika, sore hari pada 1 November 2005, aku membaca sebuah artikel tentang aborsi, proses yang dilakukan dan efek psikologis yang ditimbulkan. Dari situ aku terhenyak dan termenung dan pikiranku melayang. Imajinasiku menyusup jauh ke dalam rahim 'sang ibu' menjelajahi alam pikiran bayi yang menjadi korban aborsi. Aku tanpa sadar telah menjadi bagian dari bayangan menakutkan itu... AKU seolah menjadi sang bayi... dan terlahirlah goretan tangan sedemikian...


No-Needed Child
By. Jacky Veidy Heyke

Damn!

Dawn come so fast
trying to drag
my shadow of eternity

Yelling out loud
to shrink the fear
that cometh from within

I am trembling....

fear overcome my senses
fear of life
fear of love

am no-needed child
born from nothing
raise in shadows
live in darkness
ended in black mud

deaf
blind
speechless

am just…
a piece of shit

Damn!

- Medan, November 1, 2005 -


Hah! terkutuklah orang tua durjana, terkutuklah tanah dimana darah sang bayi tertumpah.